Movie review score
5
Kata Pengantar
Setiap
Negara selalu berusaha meningkatkan pembangunan negaranya secara keseluruhan
demi tercapainya kehidupan masyarakat yang makmur dan sejahtera . untuk itu komponen-komponen
suatu negara terutama pemerintah selalu melakukan usaha-usaha demi meratanya
pembangunan bangsa dan negara itu sendiri . namun terkadang segala sesuatu yang
telah disusun dan direncanakan tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan
. banyak sekali halangan dan rintangan dalam usaha melakukan pembangunan bangsa
dan negara . bahkan biasanya hambatan ini justru datang dari petinggi-petinggi
negara ini . salah satu masalah terbesar negara ini yang dianggap hambatan yang
paling susah diberantas adalah tindak pidana korupsi . hal inilah yang
merupakan masalah terbesar Negara ini . maraknya tindak pidana korupsi di
Indonesia seakan menjadi ”tren” dikalangan orang-orang penting di
Negara ini . korupsi tidak hanya dilakukan sebagai ajang mencari tambahan
penghasilan namun terkadang ada alasan-alasan tertentu yang sulit diterima oleh
masyarakat .
Korupsi
secara langsung maupun tidak langsung membawa pengaruh yang begitu besar
terhadap kelangsungan kehidupan rakyat Indonesia . sebagian besar rakyat
Indonesia bahkan lebih dari separuhnya adalah rakyat “miskin” . sedangkan
oknum-oknum itu, seenaknya merampas hak rakyat .Dalam hal ini pemerintah
bekerja keras mencari penyelesaian masalah ini . oleh karena itu mulailah
dibentuk lembaga-lembaga pemberantasan korupsi. Namun pada kenyataanya hal ini
belumlah cukup untuk menanggulangi tindak pidana korupsi . yang dipertanyakan
adalah mengapa hukuman para pelaku tindak pidana korupsi yang seperti orang
“tidak berpendidikan” ini jauh lebiih ringan dibanding hukuman rakyat biasa
yang sekedar mencuri ”ayam” . Makalah ini akan menjabarkan tentang pidana
korupsi itu sendiri . apa itu korupsi, apa penyebab terjadinya korupsi,
bagaimana tindak pidana korupsi di Indonesia, dan cara menaggulangi korupsi itu
sendiri, serta bagaimna upaya pemerintah dalam menanggulangi masalah korupsi di
Indonesia .
Diharapkan
dari pembuatan makalah ini, kita akan lebih memahami masalah yang dianggap
masalah terbesar di Negara ini . disini juga akan dijelaskan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi . hal ini
merupakan salah satu bentuk usaha kecil untuk sosialisasi dalam hal “memberantas
korupsi”
I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Indonesia,
sebagai salah satu negara yang telah merasakan dampak dari tindakan korupsi,
terus berupaya secara konkrit, dimulai dari pembenahan aspek hukum, yang sampai
saat ini telah memiliki banyak sekali rambu-rambu berupa peraturan - peraturan,
antara lain Tap MPR XI tahun 1980, kemudian tidak kurang dari 10 UU anti
korupsi, diantaranya UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kemudian yang paling
monumental dan strategis, Indonesia memiliki UU No. 30 Tahun 2002, yang menjadi
dasar hukum pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ditambah lagi dengan
dua Perpu, lima Inpres dan tiga Kepres. Di kalangan masyarakat telah berdiri
berbagai LSM anti korupsi seperti ICW, Masyarakat Profesional Madani (MPM), dan
badan-badan lainnya, sebagai wujud kepedulian dan respon terhadap uapaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dengan demikian pemberantasan dan
pencegahan korupsi telah menjadi gerakan nasional. Seharusnya dengan sederet
peraturan, dan partisipasi masyarakat tersebut akan semakin menjauhkan
sikap,dan pikiran kita dari tindakan korupsi.
Masyarakat
Indonesia bahkan dunia terus menyoroti upaya Indonesia dalam mencegah dan
memberantas korupsi. Masyarakat dan bangsa Indonesia harus mengakui, bahwa hal
tersebut merupakan sebuah prestasi, dan juga harus jujur mengatakan, bahwa
prestasi tersebut, tidak terlepas dari kiprah KPK sebagai lokomotif
pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia, yang didukung oleh
masyarakat dan LSM, walaupun dampaknya masih terlalu kecil, tapi tetap kita
harus berterima kasih dan bersyukur. Berbagai upaya pemberantasan korupsi
dengan IPK tersebut, pada umumnya masyarakat masih dinilai belum menggambarkan
upaya sunguh-sunguh dari pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Berbagai sorotan kritis dari publik menjadi ukuran bahwa masih belum lancarnya
laju pemberantasan korupsi di Indonesia. Masyarakat menduga masih ada praktek
tebang pilih dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Sorotan masyarakat
yang demikian tajam tersebut harus difahami sebagai bentuk kepedulian dan
sebagai motivator untuk terus berjuang mengerahkan segala daya dan strategi
agar maksud dan tujuan pemberantasan korupsi dapat lebih cepat, dan selamat
tercapai. Selain itu, diperlukan dukungan yang besar dari segenap kalangan
akademis untuk membangun budaya anti korupsi sebagai komponen masyarakat
berpendidikan tinggi .
Sesungguhnya
korupsi dapat dipandang sebagai fenomena politik, fenomena sosial, fenomena
budaya, fenomena ekonomi, dan sebagai fenomena pembangunan. Karena itu pula
upayapenanganan korupsi harus dilakukan secara komprehensif melalui startegi
atau pendekatan negara/politik, pendekatan pembangunan, ekonomi, sosial dan
budaya. Selama ini yang telah dan sedang dilakukan masih terkesan parsial,
dimana korupsi masih dipandang sebagai fenomena negara atau fenomena politik.
Upaya pencegahan korupsi di Indonesia juga harus dilakukan melalui upaya
perbaikan totalitas system ketatanegaraan dan penanaman nilai-nilai anti
korupsi atau nilai sosial anti korupsi/Budaya Anti Korupsi (BAK), baik di
pemerintahan tingkat pusat mauapun di tingkat daerah.
Korupsi sebagai fenomena negara, selama ini difahami sebagai fenomena penyalahgunaan kekuasaan oleh yang berkuasa.
Korupsi sebagai fenomena negara, selama ini difahami sebagai fenomena penyalahgunaan kekuasaan oleh yang berkuasa.
Berdasarkan
pengertian tersebut, korupsi di Indonesia difahami sebagai perilaku pejabat dan
atau organisasi (negara) yang melakukan pelanggaran, dan penyimpangan terhadap
norma-norma atau peraturan-peraturan yang ada. Korupsi difahami sebagai
kejahatan negara (state corruption). Korupsi terjadi karena
monopoli kekuasaan, ditambah kewenangan bertindak, ditambah adanya kesempatan,
dikurangi pertangungjawaban. Jika demikian, menjadi wajar bila korupsi sangat
sulit untuk diberantas apalagi dicegah, karena korupsi merupakan salah satu
karakter atau sifat negara, sehingga negara = Kekuasaan = Korupsi.
Sebagai fenomena pembangunan, korupsi terjadi dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah.
Sebagai fenomena pembangunan, korupsi terjadi dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah.
Pembangunan
seharusnya merupakan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi negara,
terutama negara yang termasuk dalam kelompok negara berkembang, termasuk
Indonesia. Di negara berkembang yang melakukan pembangunan adalah pemerintah.
Pemerintah seharusnya mengarahkan pembangunan menjadi pemberdayaan masyarakat,
sehingga suatu saat masyarakat memiliki kemauan dan kemampuan memenuhi
kebutuhan dan melindungi kepentingan sendiri. Ketidakberdayaan masyarakat
sering dijadikan alasan untuk membantu, bentuk dan jenis bantuan dijadikan
proyek, disini pula menjadi sumber korupsi.
Korupsi
sebagai fenomena sosial, dalam hal ini korupsi terjadi dalam hubungan interaksi
atau transaksi antara pemerintah dengan masyarakat, antara pemerintah dengan
pemerintah, antara masyarakat dengan masyarakat. Sebagai fenomena sosial
budaya, korupsi dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok : pertama kesepakan
gelap (kolusi), kedua upaya menembus kemacetan atau hambatan yang disebabkan
peraturan atau oknum, dan ketiga menhgindari tanggung jawab dan berupaya agar
lepas dari jeratan hukum, misalnya sogok, hadiah, uang pelican, mensponsori
suatu kegiatan tertentu dengan maksud mendapatkan yang bernilai lebih, atau
sering dikenal dengan "ada udang dibalik batu",
dll.
Korupsi
sebagai fenomena budaya, dapat difahami bahwa korupsi terjadi karena sudah
menjadi kebiasaan/perilaku yang dibangun berdasarkan nilai-nilai yang
diketahui, difahami dan diyakini seseorang atau sekelompok orang. Nilai-nilai
tersebut dibangun melalui proses sosialisasi daninternalisasi yang sistematis.
Proses tersebut terjadi dalam lingkup pendidikan. Oleh karena itu, kami memahami
bahwa suatu kebiasaan harus dimulai dari merubah mindset atau pola pikir, atau
paradigma, kemudian membentuk perilaku berulang yang coba-coba dan akhirnya
menjadi kebiasaan. Sosialisasi dan internalisasi nilai anti korupsi tersebut
dilakukan kepada seluruh komponen masyarakat dan aparatur pemerintah di pusat
dan daerah, lembaga tinggi Negara, BUMN, BUMD, sehingga nilai sosial anti
korupsi/Budaya Anti Korupsi (BAK) menjadi gerakan nasional dan menjadi
kebiasaan hidup seluruh komponen bangsa Indonesia, menuju kehidupan yang adil
makmur dan sejahtera.
B. Tujuan
Tujuan
dari pembuatan malakah ini adalah untuk mensosialisasikan apa itu korupsi, dan
bagaimana korupsi itu terjadi di Indonesia, serta bagaimana upaya dalam
pemberantasan masalah terbesar Negara ini . diharapkan dari pembuatan makalah
ini kita lebih mengerti bagaimana upaya pemerintah dalam memerangi korupsi di
negri ini . kita pun dapat sedikit berpartisipasi memberantasi korupsi setelah
kita mengerti dengan jelas korupsi di Indonesia .
C. Rumusan
Masalah
· Asal
Kata dan Pengertian Korupsi
· Faktor
Pedorong Terjadinya Korupsi di Indonesia
· Dampak
Negatif korupsi
· Contoh
Kasus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
· Lembaga
Pemberantasan Korupsi
· Peraturan
Perundang-Undangan Tentang Tindak Pidana Korupsi
· Upaya
Pemerintah dalam Memberantas Korupsi di Indonesia
II. PEMBAHASAN
A. Asal
Kata dan Pengertian Korupsi
Korupsi berasal
dari bahasa Latin : corruptio dari
kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok . Secara harfiah, korupsi adalah
perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang
secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka.
Meskipun
kata corruption itu luas sekali artinya,namun sering corruptio dipersamakan
artinya dengan penyuapan seperti disebut dalam ensiklopedia Grote Winkler Prins
(1977) PP Pengganti UU Nomor 24 Tahun 1960, mengartikan korupsi sebagai
"tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau
pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara
dan daerah atau merugikan keuangan suatu badan hukum lain yang menerima bantuan
dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang memergunakan modal
dan kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat", dst.
Kemudian
Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling Corruption (1998), mendefinisikan
korupsi sebagai "tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi
sebuah jabatan Negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut
pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau untuk melanggar
aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi". Kemudian secara
singkat Komberly Ann Elliott dalam Corruption and The GlobalEconomy menyajikan
definisi korupsi, yaitu "menyalahgunakan jabatan pemerintahan untuk
keuntungan pribadi".
Menurut
pasal 25 (penghabisan) perpu nomor 24 tahun 1960 ini disebut peraturan
pemberantasan korupsi diatas saya namakan undang undang anti-korupsi pasal
, menentukan bahwa tindak pidana korupsi adalah :
a) Tindaakan
seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian nergara atau daerah atau
merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah
atau badan hukum lain yang mempergunakan modal atau kelonggaran kelonggaran
dari Negara atau masyarakat
b) Perbuatan
seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan dan dilakukan dengan
menyalahgunakan jabatan atau kedudukan
c) Kejahatan-kejahatan
tercantum dalam pasal 17-21 peraturan ini dan dalam pasal 209, 210,415, 417,
418, 419, 420, 423, 425, dan 435, kitab undang undang hokum pidana.
Dari
sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur
sebagai berikut:
- perbuatan melawan hukum;
- penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
- memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
- merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu
terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
- memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
- penggelapan dalam jabatan;
- pemerasan dalam jabatan;
- ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
- menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam
arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah pemerintahan
rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang
paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan
menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan
sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnyapemerintahan
oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada
sama sekali.
Korupsi
yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal
seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini
dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan
kriminalitas kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah
hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh,
pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga
yang tidak legal di tempat lain.
B. Faktor
Pendorong Terjadinya Korupsi di Indonesia
- Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukandemokratik.
- Gaji yang masih rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban dan sebagainya.
- Sikap mental para pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang haram, tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.
- Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
- Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
- Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
- Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
- Lemahnya ketertiban hukum.
- Lemahnya profesi hukum.
- Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
Mengenai
kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibanding dengan kebutuhan hidup
yang makin hari makin meningkat pernah di kupas oleh B Soedarsono yang
menyatakan antara lain " pada umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh
suburnya korupsi sebab yang paling gampang dihubungkan adalah kurangnya gaji
pejabat-pejabat....." namun B Soedarsono juga sadar bahwa hal tersebut
tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang bekerja dan saling memengaruhi
satu sama lain. Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling menentukan,
orang-orang yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi. Namun demikian
kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor yang paling menonjol
dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh
Guy J Parker dalam tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The Record of
three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123).
Begitu
pula J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian pertama tahun
1960 situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar golongan dari
pegawai, gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua minggu. Dapat
dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai mencari tambahan dan
banyak diantaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang ekstra untuk pelayanan
yang diberikan". ( Sumber buku "Pemberantasan Korupsi karya Andi
Hamzah, 2007)
- Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
- Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".
C. Dampak
negatif korupsi
- Terhadap
demokrasi
Korupsi
menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik,
korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good
governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan
umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di
pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban
hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam
pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari
pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat
diangkat ataudinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan,
korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti
kepercayaan dan toleransi.
- Terhadap
perekonomian
Korupsi
juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas
pelayanan pemerintahan.
Korupsi
juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan
ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan
ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen
dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau
karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi
ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul
berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan
baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga,
korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang
memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan
perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi
menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan
mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan
upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek
masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan
lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat
keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga
mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan
tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
- Terhadap
kesejahteraan umum negara
Korupsi
politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga
negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering
menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah
bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan
besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus
"pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan
besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
D. Contoh
kasus tindak pidana korupsi di Indonesia
· Soeharto
Kasus
Soeharto Bekas presiden Soeharto diduga melakukan tindak korupsi di tujuh
yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera
Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) Rp 1,4 triliun. Ketika diadili di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia tidak hadir dengan alasan sakit. Kemudian
majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengembalikan berkas tersebut
ke kejaksaan. Kejaksaan menyatakan Soeharto dapat kembali dibawa ke pengadilan
jika ia sudah sembuh?walaupun pernyataan kejaksaan ini diragukan banyak
kalangan.
· Pertamina
Dugaan
korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT
Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur
minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara,
adalah US $ 24.8 juta. Para tersangkanya 2 Mantan Menteri Pertambangan dan
Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur
Pertamina Faisal Abda’oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo.
Kasus
Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat dengan
tersangka seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang minyak ini
menghabiskan biaya sebesar US $ 1.4 M. Kerugian negara disebabkan proyek ini
tahun 1995-1996 sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar 1.3
Triliun. Kasus kilang Balongan merupakan benchmark-nya praktek KKN di
Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700 dalam kasus mark-up atau
penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor I
tersebut.Kasus Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa
(Pipianisasi Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda’oe, Bos
Bimantara Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga
US$ 31,4 juta.
· Korupsi
di BAPINDO
Tahun
1993, pembobolan yang terjadi di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dilakukan
oleh Eddy Tanzil yang hingga saat ini tidak ketahuan dimana rimbanya, Negara
dirugikan sebesar 1.3 Triliun.HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst &
Young Kasus HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli
2000 tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi
dengan kerugian negara Rp 15,025 triliun (versi Masyarakat Transparansi
Indonesia). Yang terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo
Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto. Bob Hasan
telah divonis enam tahun penjara. Bob dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi
proyek pemetaan hutan senilai Rp 2,4 triliun.
Direktur
Utama PT Mapindo Pratama itu juga diharuskan membayar ganti rugi US$ 243 juta
kepada negara dan denda Rp 15 juta. Kini Bob dikerangkeng di LP Nusakambangan,
Jawa Tengah. Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana
reboisasi proyek hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang
diduga merugikan negara Rp 331 miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal
dekat dengan bekas presiden Soeharto, membantah keras tuduhan korupsi. Sampai
sekarang nasib kasus taipan kakap ini tak jelas kelanjutannya.
· Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
Kasus
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika
Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000.
Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun
dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya
penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4
triliun.Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap
bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya
yang terlibat pengucuran BLBI?Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru
Soepraptomo?telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga
tahun penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para pengamat. Ketiganya kini
sedang naik banding.
Bersama
tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya
beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank
Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa),
Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern). Yang jelas,
hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan dan
penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus .
· Abdullah
Puteh
Gubernur
Nanggroe Aceh Darussalam yang kini non aktif ini menjadi tersangka korupsi APBD
dalam pembelian helikopter dan genset listrik, dengan dugaan kerugian Rp 30
miliar. Kasusnya
kini masih ditangani pihak kejaksaan dengan supervisi Komisi Pemberantasan
Korupsi.
E. Lembaga
pemberantasan korupsi
·
Sejarah lembaga
pemberantasan korupsi di Indonesia
Orde
Lama
o Kabinet
Djuanda
Di
masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang
pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini
disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin
oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota,
yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah
semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk
isian formulir yang disediakan.Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat
yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa
dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu
tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan
kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya
menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
o Operasi
Budhi
Pada 1963,
melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk
lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri
Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumodengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi.
Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke
pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta
lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi
alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang
tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas
dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga
berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11
miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya
oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling
Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi
ketuanya serta dibantu olehSoebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari
pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga
ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke
jalur lambat, bahkan macet.
Orde
Baru
Pada
masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16
Agustus 1967, Soehartoterang-terangan mengkritik Orde Lama, yang
tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat
ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya
Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun,
ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan
Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang
dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr
Wilopo, dan A.
Tjokroaminoto,
dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT
Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.Empat tokoh bersih ini jadi tanpa
taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama
sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi
alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat
sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib)
dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat
mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top
downdi kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin
melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan
makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
Era
Reformasi
Di
era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J.
Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut
pembentukan berbagai komisi atau badan baru, sepertiKomisi Pengawas Kekayaan
Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman.
Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2000.
Namun,
di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim
ini, melalui suatujudicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya
dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib
serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN
sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi
terbaru yang masih eksis.
·
KPK di bawah
Taufiequrachman Ruki (2003-2007)
Pada
tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki,
seorang alumni Akademi Kepolisian(Akpol)
1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki,
KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan
institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean
governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia.
Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI
dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik
dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Menurut
Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana
menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana
mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang
melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh "island
of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi).
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas". Taufiequrachman mengemukakan data hasil survei Transparency Internasional mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia.
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas". Taufiequrachman mengemukakan data hasil survei Transparency Internasional mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia.
Hasil
survei itu memberikan nilai IPK (Indeks
Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan
Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Survei Transparency
International Indonesia berkesimpulan bahwa lembaga yang harus dibersihkan
menurut responden, adalah: lembaga peradilan (27%), perpajakan (17%),
kepolisian (11%), DPRD (10%), kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%),
BUMN (5%), lembaga pendidikan (4%), perijinan (3%), dan pekerjaan umum (2%). Lebih
lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu
"Barometer Korupsi Global", menempatkan partai politik di
Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian
1-5, 5 untuk yang terkorup).
Masih
berangkat dari data tersebut, diAsia,
Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup
10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina (8,33)
dan Thailand (7,33).
Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas yang akan mencegah manusia dari perbuatan tercela, entah itu "corruption by needs" (korupsi karena kebutuhan), "corruption by greeds" (korupsi karena keserakahan) atau "corruption by opportunities" (korupsi karena kesempatan). Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis.
Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas yang akan mencegah manusia dari perbuatan tercela, entah itu "corruption by needs" (korupsi karena kebutuhan), "corruption by greeds" (korupsi karena keserakahan) atau "corruption by opportunities" (korupsi karena kesempatan). Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis.
·
Komisi Pemberantasan
Korupsi ( KPK)
Komisi
Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang
dibentuk pada tahun 2003 untuk
mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi diIndonesia.
Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik IndonesiaNomor
30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat ini KPK
dipimpin bersama oleh 4 orang wakil ketuanya, yakni Chandra Marta Hamzah, Bibit Samad Rianto, Mochammad Jasin,
dan Hayono Umar,
setelah Perpu Plt. KPK ditolak oleh DPR. Pada 25 November, M. Busyro Muqoddas terpilih
menjadi ketua KPK setelah melalui proses pemungutan suara oleh Dewan Perwakilan
Rakyat.
Visi
Mewujudkan Lembaga yang Mampu Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi
Misi
Mewujudkan Lembaga yang Mampu Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi
Misi
- Pendobrak dan Pendorong Indonesia yang Bebas dari Korupsi
- Menjadi Pemimpin dan Penggerak Perubahan untuk Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi
Komisi
Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
- Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
- Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
- Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam
melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
- Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
- Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
- Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
- Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi
K
P K
(Berdasar
Lampiran Peraturan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
No. PER-08/XII/2008 Tanggal Desember 2008)
No. PER-08/XII/2008 Tanggal Desember 2008)
Nama-nama
anggota KPK
Contoh profil
anggota KPK :
Muhammad Busyro
Muqoddas
Lahir
di Yogyakarta, 17 Juli 1952, menamatkan pendidikan sarjana hukum di Universitas
Islam Indonesia, meraih gelar Magister Hukum dari Universitas Gadjah Mada, dan
menyelesaikan program S-3 Hukum di Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta.Berbagai jabatan di bidang hukum telah dilakoni oleh Busjro, mulai
dari Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta (1983-1986), anggota Dewan Kode Etik IKADIN
Yogyakarta (1998-2000), anggota Dewan Etik ICM Yogyakarta (2000-2005). Selain
iu, Busyro dipercaya menjadi Ketua Komisi Yudisial mulai tahun 2005 sebelum
akhirnya terpilih menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2010. Di
lingkungan akademis, Busyro memiliki pengalaman menjadi Pembantu Dekan III
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (1986-1988), dilanjutkan sebagai
Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia hingga 1990.
Bapak
dari tiga anak ini pernah mengikuti Pelatihan Investigasi Pelanggaran HAM Berat
(2004) dan peserta pra-pelatihan internasional dalam bidang Human Rights,
Conflict Transformation and Peace Promotion in Norwegia yang diselenggarakan
oleh Dirjen Perlindungan HAM, Departemen Hukum dan HAM RI bersama dengan
Institute of Human Rights, University of Oslo Norwegia, di Bogor (2004). Busyro
yang memiliki hobi membaca buku dan olahraga, pada 2008 meraih penghargaan Bung
Hatta Anti Corruption Award (BHACA).
Busyro
terpilih menjadi Ketua KPK setelah melewati serangkaian fit and proper test
oleh Komisi III DPR RI pada 25 November 2010. Menggantikan Ketua KPK Antasari
Azhar, Busyro dilantik dan diambil sumpah oleh Presiden RI pada 20 Desember
2010.
Peraturan
Perundang-Undangan yang Terkait dengan KPK :
- Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negera yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
- Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
- Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK
F. Peraturan
Perundang-Undangan Tentang Tindak Pidana Korupsi
Yang
kini menonjol adalah tiga unsur yaitu (a) memperkaya diri, (b) menyalahgunakan
jabatan atau kedudukan (c) merugikan keuangan atau perekonomian Negara .
Pasal
16 menentukan :
a) Barang
siapa melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam pasal 1 sub a dan b
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun dan/ atau denda
setinggi tingginya satu juta rupiah.
b) Segalaa
harta bendaa yang diperoleh dari korupsi dirampas.
c) Si
terhukum dapat juga diwajibkan membayar uang pengganti yang jumlahnya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi .
Pasal
17 membuat suatu tindak pidana baru yaitu : barang siapa memberi hadiah atau
janji kepada seseorang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau
daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan
kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat dengan mengingat suatu
kekuasaan atau suatu wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau
yang oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan itu dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
dan/atau denda setinggi-tinggiya satu juta rupiah .
Demikianlah
ditetapkan dalam pasal 5 ayat 3 ditagaskan oleh pasal 7 bahwa : perkara dalam
perkara korupsi ini jaksa berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat-surat
dan kiriman kiriman yang melalui jawatan pos, telegram, dan telepon, yang dapat
disangka mempunyai hubungan dengan perkara pidana korupsi yang sedang disidik
atau dituntut . Dalam study ini pendekatan yang dipakai ialah pendekatan
normatif . norma-norma yang ada dalam masyarakat bukan merupakan norma hukum
saja, tetapi juga meliputi norma agama, kebiasaan, dan kesusilaan sehingga
pendekatan normatif ini pun terlampau luas ruang lingkupnya . kadang-kadang
norma norma yang lain itu berjalan seiring dengan norma hukum . tetapi sering
pula tidak sejalan . pendekatan ini disebut pendekatan normatif .
pendekatan normatif dalam arti sempit, yaitu pendekatan yang ditujukan kepada
norma hukum yang masih mempunyai beberapa jalur .
a) Jalur
Hukum Perdata
Kemungkinan
gugatan perdata terhadap para koruptor berupa ganti kerugian kepada Negara
sesuai pasal 1365 BW terutama terhadap koruptor yang telah meninggal dunia
. hal ini telah diatur dalam pasal 32,33, dan 34 Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 yang merupakan perbaikan pengaturan dalam UU PTPK 1971 .Andaikata
pun tidak diatur dalam UU PTPK 1999 tetap saja Negara (antara lain melalaui
kejaksaan) untuk menggugat perdata para koruptor.
b) Jalur Hukum Administrasi
Dalam
keputusan presiden nomor 14 A Thun 1980, yang mengatur tentang tata Cara
rekanan yang dan masalah komisi, diskon, dan sebagainya . hanya saja Ketentuan
dalam Keeputusan Presiden Nomor 14 A Tahun 1980 ini perlu dikaitkan dengan
sanksi, kalau perlu dengan sanksi administratif . sebelum peraturan ini,
sebenarnya telah ada ICW (Inside Comtabiliteits Wet) 23 April 1864 stbl 1864
Nomor 106, stbl 1925, Nomor 445 ditambah dan diubah dengan LN 1954
Nomor 6, 1955 tentang Pengelolaan Keuangan Negara . begitu pula dengan
Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri .
c) jalur
hukum pidana
Jalur
ini pun luas ruang lingkupnya karena seperti diketahui korupsi itu tidakBerupa
korupsi material dan keuangan saja, tetapi juga merupakan korupsi Politik,
korupsi ilmu, korupsi sastra, dan seni . di Amerika Serikat korupsi pilotik itu
justru mendapat perhatian yang besar sekali, terutama karena terjadi skandal Watergatedi
Indonesia korupsi politik seperti ini di ancam dengan hukuman pidanamenurut
Undang-Undang tentang Pemiliihan Umum (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999) di
Malaysia, korupsi dalam pemilihan umum (pemilihan raya) termasukyang disidik
oleh BPR (Badan Pemberantasan Rasuah) nyatalah bahwa perumusan ini
termasuk dalam pengertiian korupsi politik seperti yang dimaksudkan di atas .
korupsi ilmu sastra, seni pun diancam pidana tercantum dalam Undang-Undang Hak
Cipta (Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 yang di ubah dengan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1987, kemudian oleh Undang-Undang No. 12 Tahun 1997) Dalam
undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
hanya diatur tentang korupsi material
dan keuangan, ditambah dengan beberapa delik jabatan dan delik lain yang ada
kaitanyya dengan penyesuaian perkara korupsi .
Jelaslah
bahwa delik yang tercantum dalam UU PTPK itu sebagai ius constitutum dirasakan
masih terlalu sempit . masih banyak perbuatan yang dirasakan seharusnya
dipidana (ius constituendum) tidak tercakup di dalamnya . secara sosiologis,
nepotisme (memasang keluarga atau teman pada posisi pemerintah tanpa memenuhi
persyaratan untuk itu) dipandang sangat buruk dan merugikan masyarakat, tetapi
tidak termasuk sebagai delik korupsi . Syied Hussein Alatas membagi klasifikasi
jenis korupsi Dallam tiga kelompok : (a) paksaan pengeluaran uang, (b) sogokan,
(c) nepotisme . Sekarang telah ada Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupai, Kolusi, Nepotisme (LN Nomor 3851),
tetapi rumusan deliknya tidak ada sehingga sulit jaksa membuat surat dakwaan .
ada sanksi, tetapi tidak ada rumusan delik (definisi delik) . tidak ada
definisi delik dalam rumusan . bagaimana membuktikan seseorang telah melakukan
nepotisme . memang tidak ada Negara yang membuat rumusan delik tentang
nepotisme karena itu lebih berada dalam ruang lingkup sosial . (social
issue, not legal issue) .
G. Upaya
Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi di Indonesi
·
Strategi Pemberantasan
Korupsi
bertambah
besar volume pembangunan maka semakin besar pula kemungkinan kebocoran .
ditambah dengan gaji pegawai negeri yang memang sangat minim di Negara-negara
berkembang seperti Indonesia, pegawai negeri terdorong untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang kadang-kadang menggunakkan kekuasaanya untuk menambah
penghasilanya.Memang terjadi korupsi yang besar-besaran bagi mereka yang telah
memperoleh pendapatan yang memadai disebabkan karena sifatnya yang serakah,
tetapi ini bukan hal yang menyeluruh .
Guner
Myrdal berpendapat bahwa jalan untuk memberantas korupsi ialah sebagai berikut
:
(a) Menaikkan
gaji pegawai rendah (dan menengah)
(b) Menaikkan
moral pegawai tinggi
(c) Legalisasi
pemungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal
Sudah
jelas bahwa kalangan elite kekuasaan harus member keteladanan bagi yang dibawah
. untuk mencegah korupsi besar-besaran, bagi penjabat yang menduduki jabatan
yang rawan korupsi seperti bidang pelayanan masyarakat, pendapatan Negara,
penegak hukum, dan pembuat kebijaksanaan harus didaftar kekayaannya sebelum
menjabat jabatanya sehingga mudah diperiksa pertambahan kekayaannya
dibandingkan dengan pendapatan yang resmi .Artinya pegawai negeri atau penjabat
yang tidak dapat membuktikan kekayaanya yang tidak seimbang debnga
pendapatannyya yang resmi dapat digugat langsung secara perdata oleh penuntu
umum berdasarkan perbuatan melanggar hukum . Dengan demikian, harus ada sistem
pendaftaran kekayaan penjabat sebelum dan sesudah menjabat sehingga dapat dihitung
pertambahan kekayaan itu . Penuntutan pidana hanya mempunyai fungsi sebagai
obat yang terakhir . jelas korupsi tidak akan terberantas hanya dengan
penjatuhan pidana yang berat saja, tanpa suatu prevensi yang lebih efektif .
Dengan
pidana mati pun seperti di RRC ternyata tidak menghapus korupsi . satu hal yang
sering dilipakan kurang diperhatikannya peningkatan kesadaran hukum rakyat .
selalu penegak hukum saja yang diancam dengan tindakan keras, tetapi jika
rakyatnya senidiri menoleransi korupsi, yang setiap kali memerlukan layanan
selalau menyediakan amplop, dan setiap kena perkara langsung mencari siapa
penyidik, penuntut, atau hakimnya untuk disogok, lingkaran setan korupsi tidak akan
terberantas .
Di
Negara Negara Afrika Bagian Selatan dirumuskan strsategi pemberantasan korupsi
berbentuk piramida yang pada puncaknya adalah prevensi (pencerahan), sedangkan
pada kedua sisinya masing masing pendidikan masyarakat (public education) dan
pemidanaan (punishment)Dalam memberantas korupsi harus dicari penyebabnya
terlebih dahulu, kemudian penyebab itu dihilangkan dengan cara prevensi disusul
dengan pendidikan (peningkatan kesadaran hukum) masyarakat disertai dengan
tindakan represif (pemidanaa) .
·
Kebijakan pemerintah
dalam memberantas korupsi harus didukung seluruh warga
Kebijakan
pemerintah dalam memberantas korupsi yang sangat serius merupakan bagian dari
upaya dalam merealisasikan good governance dan clean government yaitu sistem
pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Program itu harus didukung dan
dijabarkan oleh seluruh warga Departemen Pertahanan sesuai fungsi, tugas dan
kewenangan masing-masing.
Seluruh warga, khususnya para pejabat untuk bekerja lebih keras dan lebih cermat sesuai aturan yang telah ditetapkan serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela. Lebih lanjut, ketidakcermatan dalam melaksanakan tugas bukan saja akan mengganggu tertibnya tatanan dan orientasi organisasi serta menghambat pencapaian sasaran yang telah ditetapkan. Tetapi hal itu juga dapat merusak moral, sikap dan disiplin yang sekaligus merusak citra lembaga Untuk itu, hal yang perlu ditekankan disini untuk dipedomani dan dilaksanakan, antara lain : pertama, melaksanakan tugas sesuai fungsi, kewenangan serta aturan-aturan yang telah digariskan. Kedua, sinergi, disiplin, dan motivasi untuk memberikan yang terbaik. Ketiga, jangan mudah tergoda mengambil jalan pintas yang dapat mengarah pada hal-hal yang berpotensi merugikan, baik secara perorangan maupun kelembagaan. |
·
Upaya pemberantasan
korupsi seiring kemajuan teknologi dan komunikasi
Dalam
pemberantasan korupsi terkandung makna penindakan dan pencegahan korupsi, serta
ruang untuk peran serta masyarakat yang seharusnya dapat lebih ditingkatkan
dengan adanya perbaikan akses masyarakat terhadap informasi. Teknologi
informasi dapat dimanfaatkan untuk perbaikan pelayanan publik sebagai salah
satu cara melakukan pencegahan korupsi. Sedangkan di sisi penindakan, (tanpa
bermaksud mengesampingkan pro kontra yang terjadi) undang-undang memberi ruang
bagi para penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan
Korupsi untuk mendapatkan dan menggunakan informasi elektronik guna memperkuat
pembuktian kasus korupsi. Saat ini kita tengah menanti kehadiran Peraturan
Pemerintah yang akan mengatur lebih lanjut intersepsi dalam rangka penegakan
hukum, sesuai amanah undang-undang.
Dari
survei Persepsi Masyarakat Terhadap KPK dan Korupsi Tahun 2008, didapati bahwa
belum terlalu banyak orang yang tahu bahwa tugas dan wewenang yang diamanahkan
kepada KPK bukan hanya tugas yang terkait dengan penanganan kasus korupsi dan
penanganan pengaduan masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi, karena sekalipun
telah banyak yang dilakukan oleh KPK dalam melakukan pencegahan korupsi dan
dalam mengkaji sistem administrasi lembaga negara/pemerintah yang berpotensi
korupsi, kegiatan-kegiatan itu menurut kalangan pers kalah nilai jualnya jika
dibandingkan dengan liputan atas penindakan korupsi.
Pemberantasan
tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi,
supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.Karenanya ada tiga hal yang perlu
digarisbawahi yaitu ‘mencegah’, ‘memberantas’ dalam arti menindak pelaku
korupsi, dan ‘peran serta masyarakat’. Kemajuan teknologi informasi sudah
banyak membantu KPK dalam melakukan tugas-tugasnya. Dari mulai gedung KPK yang
dirancang sebagai smart building, paper-less information
system yang diberlakukan sebagai mekanisme komunikasi internal di KPK,
dan program-program kampanye serta pendidikan antikorupsi KPK. Dalam meningkatkan
peran serta masyarakat, informasi elektronik sangat dibutuhkan agar informasi
yang disampaikan dapat lebih cepat diterima, lebih luas sebarannya, dan lebih
lama penyimpanannya. KPK juga telah mengadakan berbagai lomba bagi pelajar,
mahasiswa, dan masyarakat yang antara lain berupa lomba PSA antikorupsi, lomba
film pendek antikorupsi, lomba poster, dan lomba-lomba lainnya.
·
Penggunaaan teknologi
informasi dalam memperkuat pembuktian kasus korupsi
Penegak
hukum di Indonesia, dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi
Pemberantasan Korupsi sama-sama diberi kewenangan melakukan penyadapan. Dan
tidak seperti yang dipersepsikan banyak orang, para penegak hukum tidak bisa
sekehendak hatinya menggunakan instrumen yang sensitif ini.Bagi KPK, penyadapan
hanya dapat dilakukan setelah ada surat tugas yang ditandatangani Pimpinan KPK
yang menganut kepemimpinan kolektif di antara lima komisionernya. Sedangkan
keputusan untuk melakukan penyadapan didasarkan pada kebutuhan untuk memperkuat
alat bukti dalam kegiatan penyelidikan.
Penyelidikan
itu sendiri dilakukan setelah kegiatan pengumpulan data dan keterangan
dilakukan setelah ditemukan indikasi tindak pidana korupsi. Dengan demikian,
penyadapan bukan merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk mendapatkan bukti
adanya suatu tindak pidana korupsi, dan keputusan untuk melakukannya bukanlah
keputusan yang mudah. Dalam melakukan penyadapan sesuai kewenangan yang diatur
dalam Pasal 26 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 serta pasal 12 butir a UU No.
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK tunduk
pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor
11/PER/M.KOMINFO/02/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. Karena
itu KPK tidak menganggap lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai ancaman, karena penyadapan yang
selama ini dilakukan merupakan lawfull interception, sesuai aturan
yang ada dan dilakukan dengan tanggung jawab, profesionalisme, dan
kehati-hatian ekstra.
KPK
tidak pernah menyebarluaskan hasil sadapan, kecuali sebagai pembuktian di
sidang pengadilan, yang diperdengarkan atas perintah hakim Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi. Kesimpangsiuran informasi terjadi, ketika salah satu stasiun
televisi swasta menayangkan program yang memuat upaya penindakan KPK lengkap
dengan pemutaran rekaman hasil penyadapan yang dilakukan KPK.Terkait dengan
banyaknya tayangan dalam program tersebut yang menampilkan para terperiksa,
terdakwa, dan terpidana kasus-kasus yang ditangani KPK, ada sebagian masyarakat
yang menduga ada andil KPK di dalamnya.
Sebagai
catatan, gambar-gambar dan rekaman yang ditampilkan tersebut diambil dari ruang
persidangan atau di halaman dan lobby tamu KPK yang merupakan ruang publik.
Parahnya lagi bukan hanya masyarakat awam hukum yang berpendapat demikian.
Dalam satu kesempatan talk show di salah satu universitas di
Yogyakarta medio September 2008 ini, seorang doktor hukumpun menyatakan bahwa
KPK telah melanggar hak asasi manusia para terdakwa kasus tindak pidana korupsi
karena memperdengarkan secara terus-menerus rekaman pembicaraan dengan tujuan
sebagai hukuman asesoris yang diberikan untuk mempermalukan mereka.
Selama
ini, KPK berusaha melaksanakan tugas yang diamanahkan oleh undang-undang dengan
semaksimal mungkin memanfaatkan kewenangan yang ada. Karena itu Undang Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik akan kami cermati sebagai salah satu aturan
yang harus ditaati dan dilaksanakan. Dalam penjelasan umum Undang-Undang
tentang KPK disebutkan bahwa : “……..Tindak pidana korupsi yang meluas dan
sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak
ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi
dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu
kejahatan luar biasa”.
Kalimat
di atas bisa jadi merupakan salah satu alasan undang-undang ini mengatur
kembali pemberian kewenangan penyadapan kepada KPK, sekalipun kewenangan yang
sama telah diberikan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tentang dimungkinkannya alat bukti petunjuk berupa informasi yang diucapkan,
dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu; dan dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang
dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau
tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau
perforasi yang memiliki makna.
Dari
keinginan rakyat yang diterjemahkan dalam undang-undang yang menyatakan bahwa
korupsi merupakan kejahatan luar biasa, seharusnya membawa implikasi pada
penanganan korupsi dengan cara-cara yang luar biasa pula – sekalipun tetap
dalam koridor aturan hukum yang berlaku. Terkait dengan kontroversi penyadapan
dalam penindakan korupsi kita dapat mengambil penyadapan atas kasus terorisme
sebagai pembanding.POLRI telah lama melakukan penyadapan untuk kasus terorisme
dan tidak pernah ada yang mempermasalahkannya.
Besar
kemungkinan karena kita sudah memahami bahaya terorisme. Hal ini menjadi
tantangan bagi KPK untuk lebih giat menyampaikan betapa seriusnya implikasi
dari korupsi ini. Betapa besar ongkos sosial korupsi yang harus dibayar seluruh
rakyat Indonesia. Ketika seorang Penyelenggara Negara menerima suap, uang suap
itu masih bisa berperan dalam memutar roda perekonomian negara, sebagian bisa
digunakan untuk membantu orang lain, atau bahkan disumbangkan ke lembaga
keagamaan. Namun yang selama ini kurang kita sadari - kerusakan sudah terjadi,
ketika seseorang dibiarkan melanggar aturan yang ditetapkan dengan
tujuan-tujuan tertentu - karena dia telah menyuap, entah itu membabat hutan,
memasukkan barang ilegal, menjual obat palsu, atau ribuan jenis lain
pelanggaran yang pada akhirnya akan bermuara pada kesengsaraan rakyat
Indonesia.
Mengingat
itu semua, masih bisakah kita dengan percaya diri mengatakan bahwa bukan
perilaku koruptif kitalah yang menyebabkan rakyat di bumi yang kaya raya ini
harus berdiri berjam-jam sekedar untuk mendapatkan sembako atau uang
sekedarnya? Alangkah tidak sepadan jika boleh kita membandingkan antara uang
suap yang berpindah tangan itu dengan ongkos dan azab yang harus ditanggung
(oleh orang lain, saudara kita sendiri). Sebagai penutup, Undang-Undang ITE
mensyaratkan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur tata cara intersepsi
yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum. Para penegak hukum termasuk
Penyidik Pegawai Negeri Sipil tentu saja berkepentingan dengan pengaturan dalam
Peraturan Pemerintah tersebut. Karenanya keterlibatan mereka dalam penyusunan
Peraturan Pemerintah ini diperlukan untuk menjamin profesionalisme, tanggung
jawab, dan asas keadilan dalam pelaksanaan dan pemanfaatan hasil intersepsi.
·
Kinerja pemerintah
dalam pemberantasan korupsi belum maksimal
Kinerja
pemerintah dalam pemberantasan kasus korupsi masih belum maksimal. Dalam lima
tahun terakhir, masih banyak ditemukan kebijakan yang justru melemahkan upaya
pemberantasan korupsi. Dengan kata lain, prestasi eksekutif di bawah
kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) dalam memberantas
korupsi masih jauh dari ekspektasi publik.Tidak sedikit kebijakan pemerintah
yang justru menggembosi langkah pemberantasan korupsi itu sendiri. Lihat saja
dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Presiden SBY mengenai kewenangan KPK yang
dianggapnya terlalu besar, upaya BPKP mengaudit KPK, serta rivalitas KPK vs
Polri, terang Zainal Arifin Mochtar, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Fakultas Hukum (FH) UGM .
Selain adanya upaya
melemahkan KPK oleh pemerintah, masih terdapat beberapa catatan atas kebijakan
pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi selama lima tahun terakhir.
Pertama, kebijakan Presiden yang berdampak pada pemberantasan korupsi, antara
lain, Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Keppres
No. 11 Tahun 2005 tentang Pembentukan Timtas Tipikor, dan PP No. 37 Tahun 2006
tentang Kenaikan Tunjangan Anggota DPRD. Inpres No. 5 Tahun 2004 dan Keppres
No. 11 Tahun 2005, merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas pemberantasan
korupsi. Namun dalam pelaksanaan, keduanya tidak berjalan efektif dan masih
meninggalkan banyak catatan. Sementara itu, PP No. 37 Tahun 2006 justru merupakan
blunder kebijakan yang ditempuh pemerintah.
Dengan
keluarnya PP tersebut, potensi terjadinya gejala korupsi, khususnya bagi
anggota DPRD, menjadi semakin besar. Kedua, peran pemerintah dalam pembentukan
undang-undang anti korupsi. Dalam penyusunan RUU Pengadilan Tipikor, pemerintah
terbukti lamban. Selain itu, juga pada UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA. Komitmen
pemerintah dalam hal ini patut dipertanyakan sebab isu paling krusial tentang
perpanjangan usia hakim agung justru diusulkan oleh pemerintah. Terakhir,
penyelesaian adat atas dugaan kasus korupsi. Setidak-tidaknya terdapat dua
kasus yang disoroti, yakni kasus Amien Rais vs Presiden SBY dan Yusril Ihza
Mahendra vs Taufiequrrahman Ruki. Dalam konteks ini, Presiden terlihat
mengintervensi proses hukum yang semestinya dapat dijalankan sesuai dengan
prosedur.
Ditambahkan
oleh Eddy O.S. Hiariej, staf pengajar FH UGM yang juga anggota Pukat, bahwa
dari keseluruhan hal tersebut seolah-olah menjadi antitesis terkait dengan
keseriusan pemerintah dalam mendukung gerakan anti korupsi. Jargon-jargon yang
selama ini diserukan tampaknya masih jauh dari implementasi
·
Menimbang keseriusan
pemerintah dalam memberantas korupsi
Di
negeri ini, korupsi agaknya telah menjadi penyakit akut yang sulit untuk
diberantas. Bertahun-tahun di bawah pemerintahan yang korup, menjadikan
penyebaran korupsi semakin meluas dan sistemik. Korupsi yang meluas dengan
gampang dapat kita jumpai pada hampir seluruh kantor pelayanan publik. Korupsi
menjadi bagian dari sistem pengelolaan negara. Celakanya, korupsi kerap
melibatkan petinggi-petinggi negeri ini. Ketua DPR misalnya, adalah seorang
terpidana yang entah mengapa tidak perlu mendekam di penjara seperti terpidana
lainnya. Bisa jadi, Akbar Tanjung si terpidana itu bisa menyeret pejabat
lainnya ke penjara kalau dirinya harus menginap di hotel prodeo.
Dari
sisi hukum, aparat penegak hukum juga tampak letoi ketika berhadapan dengan
korupsi. Kalau menghadapi teroris macam Amrozi, Imam Samudera, dan lain
sebagainya, dengan sigap polisi bertindak. Kejaksaan pun, dengan proses yang
sangat cepat, mampu menyeret para terdakwa ke hadapan hakim di persidangan.
Tetapi, sama seperti politisi, ketika menangani kasus korupsi ada banyak alasan
sehingga berkas perkara mesti bolak-balik dikembalikan ke polisi, bukti tidak
mendukung, atau keluar SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) kalau tidak
dituntut bebas.Macetnya hukum dalam penanganan kasus korupsi bisa dimengerti
dengan melihat korupsi sebagai fenomena sosiologis. Dalam kaca mata sosiologis,
korupsi melibatkan jaringan elit kekuasaan, baik di eksekutif, legislatif
maupun yudikatif. Karena itu, bercokolnya Ketua DPR dari jerat hukum bisa
dibaca sebagai upaya melindungi elit lain. Juga mengapa Jaksa Agung yang
jelas-jelas dilaporkan ke polisi oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara
(KPKPN) karena laporan palsu masih duduk di kursinya. Oleh sebab itu, korupsi
dianggap sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Untuk
memberantasnya, dibutuhkan pendekatan hukum yang luar biasa pula.
KPK,
Komisi Super? Salah satu produk hukum yang digulirkan untuk memberantas korupsi
adalah pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau disingkat
KPK. Pembentukan komisi ini merupakan amanat dari UU No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Korupsi yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 20 Tahun 2001.
UU Anti Korupsi itu merupakan amandemen dari UU No.3 Tahun 1971 tentang Anti
Korupsi yang dianggap sudah tidak memadai lagi.Karena korupsi adalah extra
ordinary crime, maka ada beberapa kewenangan luar biasa yang dimiliki oleh KPK.
Diantaranya,
pertama dipergunakannya alat bukti elektronik dalam pembuktian. Alat bukti
elektronik meliputi e-mail, rekaman suara, rekaman video dan sebagainya.
Bandingkan dengan KUHAP yang hanya mengakui kesaksian langsung dari seseorang.
Kedua,
KPK memiliki kewenangan dalam hal penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Bahkan KPK bisa mengambil alih kasus korupsi yang sedang ditangani oleh
kejaksaan atau kepolisian. Sebagai kejahatan yang luar biasa, korupsi memang
tidak bisa ditangani oleh aparatus negara konvensional seperti kejaksaan dan
kepolisian. Apalagi dalam kurun waktu yang lama terbukti dua institusi penegak
hukum itu gagal memberantas korupsi.
Ketiga,
berbeda dengan kejahatan lain, persidangan kasus korupsi juga dilakukan dengan
cara di luar kelaziman. Kelak kalau KPK telah berfungsi, koruptor akan diadili
dalam Pengadilan Korupsi. Hakim yang mengadili, baik di tingkat pertama
(Pengadilan Negeri), banding (Pengadilan Tinggi) maupun kasasi (MA) terdiri dari
lima orang, dua hakim reguler sedangkan tiga sisanya adalah hakim ad hoc.
Keempat,
KPK tidak hanya bertugas pada ranah penegakan hukum. KPK juga melakukan tugas
pencegahan, seperti memeriksa laporan kekayaan pejabat negara. Dengan
berfungsinya KPK, maka KPKPN akan dibubarkan dan akan menjadi salah satu divisi
dalam KPK. Dengan demikian, kasus laporan palsu kekayaan Jaksa Agung tidak akan
terulang lagi karena berbeda dengan KPKPN, KPK bisa langsung menyidik dan
menyeret Jaksa Agung ke Pengadilan Korupsi. Karena begitu besarnya kekuasaan
yang dimiliki oleh KPK, banyak pihak berharap KPK akan menjadi obat ampuh untuk
menyembuhkan negeri ini dari korupsi. Apalagi anggota KPK hanya lima orang
sehingga bisa mengurangi benturan kepentingan.
Berdasarkan
pengalaman Komnas HAM dan KPKN, jumlah anggota yang besar menjadikan kedua
komisi itu tidak bisa lincah dalam mengambil keputusan. Belum lagi komposisi
anggota yang berwarna-warni latar belakangnya, menjadikan gerakan kedua komisi
semakin lamban karena banyaknya kepentingan yang harus diakomodasi.
Akan
tetapi, kekuasaan besar KPK juga tidak lepas dari ancaman dari para koruptor
dan elit politik yang tidak berkepentingan. Sejak awal sebetulnya proses
pembentukan komisi super ini kerap tersendat-sendat. Proses pembentukan KPK
sendiri harus melalui berbagai tahapan yang cukup panjang. Pertama diawali
dengan pembentukan tim seleksi. Anggota Tim Seleksi dipilih oleh Menteri
Kehakiman dan HAM dan ditetapkan oleh Presiden dengan Keppres. Selanjutnya Tim
Seleksi yang akan memilik kandidat anggota KPK sebanyak 10 orang atau dua kali
jabatan yang tersedia. Tugas memilih siapa anggota komisi yang akan menjadi
musuh koruptor nomor satu adalah DPR.
Tim
Seleksi akan memberikan 10 nama ke DPR yang akan memilih lima diantaranya sebagai
anggota KPK. Lalu anggota KPK akan diangkat oleh Presiden. Sedangkan waktu yang
dibutuhkan untuk membentuk KPK sekitar 185 hari atau 6 bulan 5 hari. Perkiraan
ini adalah perkiraan optimis, artinya proses pembentukan berjalan lancar dan
tidak ada kejadian penting di luar perkiraan yang bisa menggagalkan proses
tersebut. Tenggat waktu yang diberikan oleh UU No.30 Tahun 2002 adalah satu
tahun. UU No. 30 disahkan tanggal 27 Desember 2002 sehingga KPK harus sudah
terbentuk 27 Desember 2003.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Tindakan
seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung
atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian Negara dan daerah atau
merugikan keuangan suatu badan hukum lain yang menerima bantuan dari keuangan
Negara atau daerah atau badan hukum lain yang memergunakan modal dan
kelonggaran-kelonggaran dari Negara atau masyarakat .korupsi membawa banyak
sekali pengaruh negatif yang berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat,
antara lain dampaknya terhadap demokrasi, terhadap perekonomian negara, dan
tentu saja terhadap kesejahteraan umum negri ini . banyak sekali contoh-contoh
kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia . korupsi di
Indonesia difahami sebagai perilaku pejabat dan atau organisasi (Negara) yang
melakukan pelanggaran, dan penyimpangan terhadap norma-norma atau
peraturan-peraturan yang ada.
Sebagai
fenomena pembangunan, korupsi terjadi dalam proses pembangunan yang dilakukan
oleh negara atau pemerintah. Setiap tindak pidana korupsi baik dalam bentuk
penyogok atau sebagai penerima sogok akan dikenai sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang tindak pidana korupsi . Sejauh
ini pemerintah terus melakukan upaya dalam memberantas korupsi . salah satunya
adalah dengan membentuk lembaga pemberantasan korupsi yang saat ini dikenal
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) . selain itu pemerintah juga
memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai alat dalam
membantu upaya pemberantasan korupsi di negri ini . namun hal ini tidak akan
sempurna tanpa adanya dukungan dari komponen utama dan terbesar yaitu
masyarakat umum .
Untuk
itu sebenarnya usaha yang paling efektif untuk memerngi korupsi di Indonesia
adalah kerja sama yang baik antara pemerintah dengan masyarakat umum . Selain
itu peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) akan meminimalisir trejadinya
tindak pidana korupsi . Hukum yang tegas juga diperlukan untuk menjerat para ”tikus
berdasi “ini yang mencuri hak rakyat . Kombinasi antara semua
aspek yang telah disebutkan di atas adalah upaya sempurna dalam memerangi
masalah korupsi di indonesia .
Daftar
Pustaka
Hamzah jur andi,(2005), pemberantasan
korupsi, Jakarta,PT Raja Grafindo Persada
Dikoro wirdjono
projo,(2005),tindak pidana tertentu di Indonesia, Jakarta,PT Raja
Grafindo Pesada
Komisi
Pemberantasan Korupsi (2008), Survei Persepsi Masyarakat Terhadap KPK dan
Korupsi Tahun 2008.
|
good salam kenal ya